Uang Haram Jadi Halal

Uang Haram Jadi Halal

Kepegawaian yang Diharamkan

Diperbolehkannya bekerja sebagai pegawai seperti yang kami katakan di atas, diikat dengan suatu syarat tidak menjadi pegawai yang membahayakan kaum muslimin. Oleh karena itu seorang muslim tidak halal bekerja sebagai pegawai atau prajurit dalam ketenteraan yang memerangi kaum muslimin atau bekerja sebagai pegawai dalam suatu pabrik yang memproduksi senjata untuk memerangi kaum muslimin. Dan tidak boleh seorang muslim bekerja sebagai pegawai suatu lembaga yang melawan Islam dan memerangi umatnya. Termasuk juga pegawai yang membantu kepada perbuatan zalim dan haram, seperti pekerjaan yang meribakan uang, tempat arak, tempat dansa atau di tempat-tempat permainan yang kosong dan sebagainya.

Mereka ini semua tidak dapat dibebaskan dari dosa. Tidak berarti mereka tidak bersekutu dan tidak berbuat haram. Sebab seperti prinsip-prinsip yang telah kami kemukakan sebelumnya, bahwa menolong perbuatan haram berarti haram. Justru itulah Rasulullah s.a.w. melaknat juru tulis riba dan dua orang saksinya sebagaimana dilaknatnya orang yang makan riba. Pembuat dan pelayan yang menuangkan arak dilaknat seperti dilaknat orang yang minum.

Ini semua berlaku dalam keadaan yang tidak terpaksa (normal) dimana seorang muslim harus memasukinya demi mencari rezeki. Kalau ternyata dalam keadaan yang memaksa, maka dapat dinilai menurut keperluannya itu, yaitu menjadi makruh dengan syarat dia harus tetap berusaha untuk mencari pekerjaan lain yang halal dan jauh dari dosadosa.

Setiap muslim harus menjaga dirinya dari hal-hal yang masih syubhat, dimana syubhat itu dapat menipiskan agama dan melemahkan keyakinan, betapapun besarnya gaji dan berharganya pekerjaan tersebut.

Rasulullah s.a.w. bersabda:

TRIBUN-TIMUR.COM - Berikut ini penjelasan Ustadz Abdul Somad terkait hukum menerima uang saat Pemilu.

Ya, jelang Pemilu, terkadang ada timses Caleg maupun Capres memberikan uang, bingkisan atau semacamnya kepada warga.

Diketahui, Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tinggal beberapa hari lagi.

Pemilu 2024 serentak digelar pada 14 Februari 2024 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Lantas apa hukum menerima uang dari caleg/ capres atau hukum menerima serangan fajar?

Hukum menerima uang saat Pemilu diungkap Ustadz Abdul Somad dalam sebuah ceramah beberapa tahun lalu.

Video Ustadz Abdul Somad diposting di kanal YouTube Shaquille kicau chane, empat tahun lalu.

Dalam video, tampak Ustadz Abdul Somad atau karib disapa UAS membaca pertanyaan dari seorang jamaah.

Pertanyaannya "Apa hukumnya menerima uang dalam Pemilu," kata UAS membaca pertanyaan tersebut, dikutip Tribun-Timur.com dari video.

"Ambil uangnya, jangan coblos orangnya," kata UAS.

"Setuju," lanjut UAS lagi yang disambut ucapan setuju dari jamaah.

Tak berhenti di situ, UAS menjelaskan, uangnya diambil bukan untuk pribadi, melainkan diserahkan ke panti jompo, anak yatim, dan fakir miskin.

UAS menegaskan praktik money politic atau politik uang itu hukumnya haram.

"Sekali haram tetap haram. Jangan. Jangan. hindari money politic," jelas UAS.

Hiburan/permainan yang bermanfaat; yang juga dibenarkan oleh Islam, ialah berburu.

Berburu itu sendiri pada hakikatnya adalah bersenang-senang, olahraga dan bekerja, baik dengan menggunakan alat seperti tombak dan panah, atau dengan melepaskan binatang berburu seperti anjing dan burung.

Tentang syarat dan tata-tertibnya telah kami sebutkan sesuai yang dituntut oleh Islam.

Islam tidak melarang berburu kecuali dalam dua hal:

a) Ketika ihram haji dan umrah. Sebab dalam keadaan demikian adalah dalam face damai secara menyeluruh, tidak boleh membunuh dan mengalirkan darah.

"Dan diharamkan atas kamu berburu binatang darat, selama kamu dalam keadaan ihram." (al-Maidah: 96)

b) Ketika berada di tanah haram Makkah, sebab tempat ini dijadikan Allah sebagai tempat perdamaian dan keamanan bagi semua makhluk hidup, yang berjalan di darat atau yang terbang di udara; ataupun tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di tempat itu. Seperti apa yang ditegaskan oleh Rasulullah s.a.w. dalam sabdanya:

Seluruh permainan yang di dalamnya ada perjudian, hukumnya haram. Sedang apa yang dinamakan judi, yaitu semua permainan yang mengandung untung-rugi bagi si pemain. Dan itulah yang disebut maisir dalam al-Quran yang kemudian diikuti dengan menyebut: arak, berhala dan azlam.

Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

Maksudnya: bahwa semata-mata mengajak bermain judi sudah termasuk berdosa yang harus ditebus dengan sedekah. Di antaranya ialah permainan dadu yang apabila dibarengi dengan perjudian, maka hukumannya adalah haram, dengan kesepakatan para ulama.

Tetapi apabila tidak dibarengi dengan perjudian, maka sementara ulama ada yang memandang haram, dan sebagian lagi memandang makruh.

Alasan yang dipakai oleh yang mengharamkannya, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Buraidah, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:

Dan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Musa dari Rasulullah s.a.w. bahwa ia berkata:

Dua hadis tersebut cukup jelas dan bersifat umum, berlaku untuk semua orang yang bermain dadu, apakah dibarengi dengan judi ataupun tidak.

Tetapi asy-Syaukani meriwayatkan, bahwa Ibnu Mughaffal dan al-Musayyib membolehkan bermain dadu tanpa judi. Sedang kedua hadis tersebut diperuntukkan buat orang yang bermain dadu sambil berjudi.

Di antara permainan yang sudah terkenal ialah catur.

Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang memandang hukumnya, antara mubah, makruh dan haram.

Mereka yang mengharamkan beralasan dengan beberapa hadis Nabi s.a.w. Namun para pengkritik dan penyelidiknya menolak dan membatalkannya. Mereka menegaskan, bahwa permainan catur hanya mulai tumbuh di zaman sahabat. Oleh karena itu setiap hadis yang menerangkan tentang catur di zaman Nabi adalah hadis-hadis batil (dhaif).

Para sahabat sendiri berbeda dalam memandang masalah catur ini. Ibnu Umar menganggapnya sama dengan dadu. Sedang Ali memandangnya sama dengan judi. (Mungkin yang dimaksud, yaitu apabila dibarengi dengan judi). Sementara ada juga yang berpendapat makruh.

Dan di antara sahabat dan tabi'in ada juga yang menganggapnya mubah. Di antara mereka itu ialah: Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Sirin, Hisyam bin 'Urwah, Said bin Musayyib dan Said bin Jubair.

Inilah pendapat orang-orang kenamaan dan begitu jugalah pendapat saya. Sebab menurut hukum asal, sebagaimana telah kita ketahui, adalah mubah. Sedang dalam hal ini tidak ada satu nas tegas yang menerangkan tentang haramnya. Dan pada catur itu sendiri melebihi permainan dan hiburan biasa. Di dalamnya terdapat semacam olah raga otak dan mendidik berfikir. Oleh karena itu tidak dapat disamakan dengan dadu. Dan justru itu pula mereka mengatakan: yang menjadi ciri daripada dadu ialah untung-untungan (spekulasi), jadi sama dengan azlam. Sedang yang menjadi ciri dalam permainan catur ialah kecerdasan dan latihan, jadi sama dengan lomba memanah.

Namun tentang kebolehannya ini dipersyaratkan dengan tiga syarat:

Kalau ketiga syarat ini tidak dapat dipenuhinya, maka dapat dihukumi haram.

Adapun dalam hadis, Rasulullah s.a.w. menyerukan supaya kita berdagang. Anjuran ini garis-garis ketentuannya diperkuat dengan sabda, perbuatan dan taqrirnya.

Dalam beberapa perkataannya yang sangat bijaksana itu kita dapat mendengarkan sebagai berikut:

"Pedagang yang dapat dipercaya dan beramanat, akan bersama para Nabi, orang-orang yang dapat dipercaya dan orang-orang yang mati syahid." (Riwayat al-Hakim dan Tarmizi dengan sanad hasan)

Kita tidak heran kalau Rasulullah menyejajarkan kedudukan pedagang yang dapat dipercaya dengan kedudukan seorang mujahid dan orang-orang yang mati syahid di jalan Allah, sebab sebagaimana kita ketahui dalam percaturan hidup, bahwa apa yang disebut jihad bukan hanya terbatas dalam medan perang semata-mata tetapi meliputi lapangan ekonomi juga.

Seorang pedagang dijanji suatu kedudukan yang begitu tinggi di sisi Allah serta pahala yang besar nanti di akhirat karena perdagangan itu pada umumnya diliputi oleh perasaan tamak dan mencari keuntungan yang besar dengan jalan apapun. Harta dapat melahirkan harta dan suatu keuntungan membangkitkan untuk mencapai keuntungan yang lebih banyak lagi. Justru itu barangsiapa berdiri di atas dasar-dasar yang benar dan amanat, maka berarti dia sebagai seorang pejuang yang mencapai kemenangan dalam pertempuran melawan hawa nafsu. Justru itu pula dia akan memperoleh kedudukan sebagai mujahidin.

Urusan dagang sering menenggelamkan orang dalam angka dan menghitung-hitung modal dan keuntungan, sehingga di zaman Nabi pernah terjadi suatu peristiwa ada kafilah yang membawa perdagangan datang, padahal Nabi sedang berkhutbah sehingga para hadirin yang sedang mendengarkan khutbah itu menjadi kacau dan akhirnya mereka bubar menuju kepada kafilah tersebut.

Waktu itulah kemudian turun ayat yang berbunyi sebagai berikut:

Oleh karenanya, barangsiapa yang mampu bertahan pada prinsip ini, disertai dengan iman yang kuat, jiwanya penuh taqwa kepada Allah dan lidahnya komat-kamit berzikrullah, maka layak dia akan bersama orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin dan syuhada'.

Dari fi'liyah (perbuatan) Rasulullah sendiri kiranya cukup bukti bagi kita untuk mengetahui sampai di mana kedudukan perdagangan itu, bahwa di samping beliau sangat memperhatikan segi-segi mental spiritual sehingga didirikannya masjid di Madinah demi untuk bertaqwa dan mencari keridhaan Allah dengan tujuan sebagai jami' tempat beribadah, institut, lembaga da'wah dan pusat pemerintahan, maka Rasulullah memperhatikan pula segi-segi perekonomian. Untuk itu maka didirikannya pasar Islam yang langsung berorientasi pada syariat Islam, bukan pasar yang dikuasai oleh orang-orang Yahudi seperti halnya pasar Qainuqa' dulu.

Pasar Islam ini langsung diawasi oleh Rasulullah sendiri. Beliau sendiri yang mentertibkan subjek-subjeknya dan beliau pula yang langsung mengurus dengan memberi bimbingan-bimbingan dan pengarahan-pengarahan. Sehingga dengan demikian tidak ada penipuan, pengurangan timbangan, penimbunan, cukong-cukong dan lain-lain yang insya Allah hadis-hadis yang menerangkan hal itu akan kami tuturkan di bab Mu'amalat nanti dalam fasal halal dan haram tentang kehidupan secara umum bagi setiap muslim.

Dalam sejarah perjalanan para sahabat Nabi, kita dapati juga, bahwa di antara mereka itu ada yang bekerja sebagai pedagang, pertukangan, petani dan sebagainya.

Rasulullah berada di tengah-tengah mereka di mana ayat-ayat al-Quran itu selalu turun kepadanya, beliau berbicara kepada mereka dengan bahasa langit, dan Malaikat Jibril senantiasa datang kepadanya dengan membawa wahyu dari Allah. Semua sahabatnya mencintai beliau dengan tulus ikhlas, tidak seorang pun yang ingin meninggalkan beliau walaupun hanya sekejap mata.

Oleh karena itu, maka kita jumpai seluruh sahabatnya masing-masing bekerja seperti apa yang dikerjakan Nabi, ada yang mengurus korma dan tanaman-tanaman, ada yang berusaha mencari pencaharian dan perusahaan. Dan yang tidak tahu tentang ajaran Nabi, berusaha sekuat tenaga untuk menanyakan kepada rekan-rekannya yang lain. Untuk itu mereka diperintahkan siapa yang mengetahui supaya menyampaikan kepada yang tidak tahu.

Sahabat Anshar pada umumnya ahli pertanian, sedang sahabat Muhajirin pada umumnya ahli dalam perdagangan dan menempa dalam pasar. Misalnya Abdurrahman bin 'Auf seorang muhajirin pernah disodori oleh rekannya Saad bin ar-Rabi' salah seorang Anshar separuh kekayaan dan rumahnya serta disuruhnya memilih dari salah seorang isterinya supaya dapat melindungi kehormatan kawannya itu. Abdurrahman kemudian berkata kepada Saad: Semoga Allah memberi barakah kepadamu terhadap hartamu dan isterimu, saya tidak perlu kepadanya. Selanjutnya kata Abdurrahman: Apakah di sini ada pasar yang bisa dipakai berdagang? Jawab Saad: Ya ada, yaitu pasar Bani Qainuqa'. Maka besok paginya Abdurrahman pergi ke pasar membawa keju dan samin. Dia jual-beli di sana. Begitulah seterusnya, akhirnya dia menjadi seorang pedagang muslim yang kayaraya, sampai dia meninggal, kekayaannya masih bertumpuk-tumpuk.

Abubakar juga bekerja sebagai pedagang, sehingga pada waktu akan dilantik sebagai khalifah beliau sedang bersiap-siap akan ke pasar. Begitu juga Umar, Usman dan lain-lain.

Perdagangan yang Dilarang

Islam pada prinsipnya tidak melarang perdagangan, kecuali ada unsur-unsur kezaliman, penipuan, penindasan dan mengarah kepada sesuatu yang dilarang oleh Islam. Misalnya memperdagangkan arak, babi, narkotik, berhala, patung dan sebagainya yang sudah jelas oleh Islam diharamkan, baik memakannya, mengerjakannya atau memanfaatkannya.

Semua pekerjaan yang diperoleh dengan jalan haram adalah suatu dosa. Dan setiap daging yang tumbuh dari dosa (haram), maka nerakalah tempatnya. Orang yang memperdagangkan barang-barang haram ini tidak dapat diselamatkan karena kebenaran dan kejujurannya. Sebab pokok perdagangannya itu sendiri sudah mungkar yang ditentang dan tidak dibenarkan oleh Islam dengan jalan apapun.

Ini tidak termasuk orang yang memperdagangkan emas dan sutera, karena kedua bahan tersebut halal buat orang-orang perempuan. Justru itu mereka ini kelak di hari kiamat tidak akan dibangkitkan dalam golongan pendurhaka yang ditempatkan di neraka Jahim.

Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. keluar ke tempat sembahyang, tiba-tiba dilihatnya banyak manusia yang sedang berjual-beli. Kemudian Rasulullah memanggil mereka: Hai para pedagang! ... Mereka pun lantas menjawab dan mengangkat kepala dan pandangannya. Maka kata Rasulullah:

Dari Watsilah bin al-Asqa' ia berkata: "Rasulullah pernah keluar menuju kami --sedang kami adalah golongan pedagang-- maka kata beliau: 'Hai para pedagang, hati-hati kamu jangan sampai berdusta.'" (Riwayat Thabarani)

Untuk itu seorang pedagang harus berhati-hati, jangan sekali-kali dia berdusta, karena dusta itu merupakan bahaya (lampu merah) bagi pedagang. Dan dusta itu sendiri dapat membawa kepada perbuatan jahat, sedang kejahatan itu dapat membawa kepada neraka.

Di samping itu hindari pula banyak sumpah, khususnya sumpah dusta, sebab Nabi Muliammad s.a.w. pernah bersabda:

"Dari Abu Said ia berkata: Ada seorang Arab gunung berjalan membawa seekor kambing, kemudian saya bertanya kepadanya: Apa kambing itu akan kamu jual dengan tiga dirham? Ia menjawab: Demi Allah tidak! Tetapi tiba-tiba dia jual dengan tiga dirham juga. Saya utarakan hal itu kepada Nabi, maka kata Nabi: Dia telah menjual akhiratnya dengan dunianya." (Riwayat Ibnu Hibban)

Di samping itu si pedagang harus menjauhi penipuan, sebab orang yang menipu itu dapat keluar dari lingkungan umat Islam.

Hindari pula pengurangan timbangan dan takaran, sebab mengurangi timbangan dan takaran itu membawa celaka, seperti firman Allah: Wailul lil muthaffifin (celakalah orang-orang yang mengurangi takaran).

Dan hindari pulalah dari penimbunan, sehingga Allah dan RasulNya tidak akan membiarkan dia begitu saja.

Terakhir, hindarilah perbuatan riba. Karena sesungguhnya Allah akan menghancurkannya.

Seperti tersebut dalam hadis yang mengatakan:

Penjelasan satu persatu persoalannya ini, insya Allah akan kami terangkan nanti di bab Mu'amalat.

Bekerja Sebagai Pegawai

Seorang muslim boleh saja bekerja mencari rezeki dengan jalan menjadi pegawai, baik itu pegawai negeri atau swasta, selama dia mampu memikul pekerjaannya dan dapat menunaikan kewajiban. Tetapi di samping itu seorang muslim tidak boleh mencalonkan dirinya untuk suatu pekerjaan yang bukan ahlinya, lebih-lebih menduduki jabatan hakim.

Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:

"Siallah Amir, siallah kepala dan siallah kasir. Sungguh ada beberapa kaum yang menginginkan kulit-kulitnya itu bergantung di bintang yang tinggi, kemudian mereka akan diulurkan antara langit dan bumi, karena sesungguhnya mereka itu tidak pernah menguasai suatu pekerjaan." (Riwayat Ibnu Hibban dan al-Hakim, ia sahkan sanadnya)

Abu Dzar pernah juga meminta kepada Nabi untuk diberi suatu jabatan, maka oleh Nabi ditepuknya pundak Abu Dzar sambil beliau bersabda:

Dan sabda Rasulullah juga tentang masalah hakim sebagai berikut:

Jadi sebaiknya seorang muslim tidak perlu ambisi kepada kedudukan-kedudukan yang besar dan berusaha di belakang kedudukan itu sekalipun dia ada kemampuan. Sebab kalau kedudukannya itu dijadikan pelindung, maka kedudukannya itu sendiri akan menghambat dia. Dan barangsiapa mengarahkan setiap tujuannya itu untuk show di permukaan bumi ini, maka dia tidak akan peroleh taufik dari lanqit.

Telah bersabada Rasulullah s.a.w. kepadaku:

"Dari Anas, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: Barangsiapa mencari penyelesaian suatu hukum tetapi dia minta supaya dibela, maka hal itu akan dibebankan kepada dirinya. Dan barangsiapa dipaksakannya, maka Allah akan mengutus Malaikat supaya meluruskannya." (Riwayat Abu Daud dan Tarmizi)

Ini, kalau dia tidak tahu, bahwa orang lain tidak akan mampu mengatasi kekosongan itu dan apabila dia tidak tampil niscaya kemaslahatan akan berantakan dan retak tali persoalan. Kalau dia tahu hanya dialah yang mampu, maka dia boleh bersikap seperti apa yang dikisahkan al-Quran kepada kita tentang Nabiullah Yusuf a.s. dimana ia berkata kepada tuannya:

Demikianlah tata-tertib Islam dalam mengatur masalah mencari pekerjaan-pekerjaan yang bersifat politis dan sebagainya.

Pedoman Secara Umum Tentang Bekerja

Pedoman secara umum tentang masalah kerja, yaitu Islam tidak membolehkan pengikut-pengikutnya untuk bekerja mencari uang sesuka hatinya dan dengan jalan apapun yang dimaksud. Tetapi Islam memberikan kepada mereka suatu garis pemisah antara yang boleh dan yang tidak boleh dalam mencari perbekalan hidup, dengan menitikberatkan juga kepada masalah kemaslahatan umum. Garis pemisah ini berdiri di atas landasan yang bersifat kulli (menyeluruh) yang mengatakan: "Bahwa semua jalan untuk berusaha mencari uang yang tidak menghasilkan manfaat kepada seseorang kecuali dengan menjatuhkan orang lain, adalah tidak dibenarkan. Dan semua jalan yang saling mendatangkan manfaat antara individu-individu dengan saling rela-merelakan dan adil, adalah dibenarkan."

Prinsip ini telah ditegaskan oleh Allah dalam firmanNya:

Ayat ini memberikan syarat boleh dilangsungkannya perdagangan dengan dua hal:

Syarat kedua ini dapat kita ambil dari kata-kata dan jangan kamu membunuh diri-diri kamu.

Perkataan ini ditafsirkan oleh ahli-ahli tafsir dalam dua pengertian yang masing-masing sesuai dengan proporsinya:

Arti pertama: Satu sama lain tidak boleh bunuh membunuh.

Arti kedua: Kamu tidak boleh membunuh diri diri kamu dengan tangan-tangan kamu sendiri.

Walhasil ayat ini memberikan pengertian, bahwa setiap orang tidak boleh merugikan orang lain demi kepentingan diri sendiri (vested interest). Sebab hal demikian, seolah-olah dia menghisap darahnya dan membuka jalan kehancuran untuk dirinya sendiri. Misalnya mencuri, menyuap, berjudi, menipu, mengaburkan, mengelabui, riba dan lain-lain pekerjaan yang diperoleh dengan jalan yang tidak dibenarkan.

Tetapi apabila sebagian itu diperoleh atas dasar saling suka sama suka, maka syarat yang terpenting jangan kamu membunuh diri kamu itu tidak ada.38

Demi menjaga ketidak adanya campur tangan orang lain yang bersifat penipuan, maka dilarangnya juga oleh Rasulullah apa yang dinamakan najasyun (menaikkan harga) yang menurut penafsiran Ibnu Abbas, yaitu: "Engkau bayar harga barang itu lebih dari harga biasa, yang timbulnya bukan dari hati kecilmu sendiri, tetapi dengan tujuan supaya orang lain menirunya." Cara ini banyak digunakan untuk menipu orang lain.

Kemudian agar pergaulan kita itu jauh dari sifat-sifat pemerkosaan dan pengelabuhan tentang harga, maka Rasulullah s.a.w. melarang mencegat barang dagangan sebelum sampai ke pasar.9

Dengan demikian, maka barang sebagai bahan baku masyarakat akan mencerminkan harga yang sesuai, selaras dengan penawaran dan permintaan. Tetapi kadang-kadang si pemilik barang akan tertipu jika dia tidak mengetahui harga pasar. Justru itu oleh Nabi ditetapkannya penawaran itu dilakukan setelah barang sampai di pasar.10

Islam mengharamkan seluruh macam penipuan, baik dalam masalah jual-beli, maupun dalam seluruh macam mu'amalah.

Seorang muslim dituntut untuk berlaku jujur dalam seluruh urusannya, Sebab keikhlasan dalam beragama, nilainya lebih tinggi daripada seluruh usaha duniawi.

Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

Dan beliau bersabda pula:

Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. pernah melalui seorang laki-laki yang sedang menjual makanan (biji-bijian). Beliau sangat mengaguminya, kemudian memasukkan tangannya ke dalam tempat makanan itu, maka dilihatnya makanan itu tampak basah, maka bertanyalah beliau: Apa yang diperbuat oleh yang mempunyai makanan ini? Ia menjawab: Kena hujan. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda:

Dalam salah satu riwayat dikatakan:

Begitulah yang dikerjakan oleh orang-orang Islam zaman dahulu, dimana mereka itu menjelaskan cacat barang dagangannya dan samasekali tidak pernah merahasiakannya. Mereka selalu berbuat jujur dan tidak berdusta, ikhlas dan tidak menipu.

Ibnu Sirin pernah menjual seekor kambing, kemudian dia berkata kepada si pembelinya: 'Saya akan menjelaskan kepadamu tentang ciri kambingku ini, yaitu kakinya cacat.'

Begitu juga al-Hassan bin Shaleh pernah menjual seorang hamba perempuan (jariyah), kemudian ia berkata kepada si pembelinya: "Dia pernah mengeluarkan darah dari hidungnya satu kali."

Walaupun hanya sekali, tetapi 'jiwa seorang mu'min merasa tidak enak kalau tidak menyebutkan cacatnya itu, sekalipun berakibat menurunnya harga.

Lebih keras lagi haramnya, jika tipuannya itu diperkuat dengan sumpah palsu. Oleh karena itu Rasulullah melarang keras para saudagar banyak bersumpah, khususnya sumpah palsu.

Rasulullah s.a.w. bersabda:

Beliau sangat membenci banyak sumpah dalam perdagangan, karena:

Salah satu macam penipuan ialah mengurangi takaran dan timbangan. Al-Quran menganggap penting persoalan ini sebagai salah satu bagian dari mu'amalah, dan dijadikan sebagai salah satu dari sepuluh wasiatnya di akhir surat al-An'am, yaitu:

"Penuhilah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan jujur dan lurus, yang demikian itu lebih baik dan sebaik-baik kesudahan. (al-Isra': 35)

"Celakalah orang-orang yang mengurangi, apabila mereka itu menakar kepunyaan orang lain (membeli) mereka memenuhinya, tetapi jika mereka itu menakarkan orang lain (menjual) atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Apakah mereka itu tidak yakin, bahwa kelak mereka akan dibangkitkan dari kubur pada suatu hari yang sangat besar, yaitu suatu hari di mana manusia akan berdiri menghadap kepada Tuhan seru sekalian alam?!" (al-Muthafifin: 1-6)

Oleh karena itu setiap muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk berlaku adil (jujur), sebab keadilan yang sebenarnya jarang bisa diujudkan. Justru itu sesudah perintah memenuhi timbangan, al-Quran kemudian berkata:

Al-Quran juga telah mengisahkan kepada kita tentang ceritera suatu kaum yang curang dalam bidang mu'amalah dan menyimpang dari kejujurannya dalam hal takaran dan timbangan. Kepunyaan orang lain selalu dikuranginya. Kemudian oleh Allah dikirimnya seorang Rasul untuk mengembalikan mereka itu kepada kejujuran dan kebaikan disamping dikembalikannya kepada Tauhid.

Mereka yang dimaksud ialah kaumnya Nabi Syu'aib. Nabi Syu'aib menyeru dan sekaligus memberikan saksi kepada mereka sebagai berikut:

Mu'amalah seperti ini suatu contoh yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim dalam kehidupannya, pergaulannya dan mu'amalahnya. Mereka tidak diperkenankan menakar dengan dua takaran atau menimbang dengan dua timbangan; timbangan pribadi dan timbangan untuk umum; timbangan yang menguntungkan diri dan orang yang disenanginya, dan timbangan untuk orang lain. Kalau untuk dirinya sendiri dan pengikutnya dia penuhi timbangan, tetapi untuk orang lain dia kuranginya.

Di antara bentuk yang diharamkan Islam sebagai usaha untuk memberantas kriminalitas dan membatasi keleluasaan pelanggaran oleh si pelanggar, ialah tidak halal seorang muslim membeli sesuatu yang sudah diketahui, bahwa barang tersebut adalah hasil rampokan dan curian atau sesuatu yang diambil dari orang lain dengan jalan yang tidak benar. Sebab kalau dia berbuat demikian, sama dengan membantu perampok, pencuri dan pelanggar hak untuk merampok, mencuri dan melanggar hukum.

Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:

Dosa ini tidak dapat terhapus karena lamanya barang yang dicuri dan dirampok itu, sebab lamanya waktu dalam pandangan syariat Islam tidak dapat menjadikan sesuatu yang haram menjadi halal. Hak pemilik yang asli tidak dapat gugur lantaran berlalunya waktu. Demikian menurut ketetapan ahli-ahli hukum sipil.

Islam membenarkan pengembangan uang dengan jalan perdagangan. Seperti firman Allah:

Islam sangat memuji orang yang berjalan di permukaan bumi untuk berdagang. Firman Allah:

Akan tetapi Islam menutup pintu bagi siapa yang berusaha akan mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba. Maka diharamkannyalah riba itu sedikit maupun banyak, dan mencela orang-orang Yahudi yang menjalankan riba padahal mereka telah dilarangnya.

Di antara ayat-ayat yang paling akhir diturunkan ialah firman Allah dalam surat al-Baqarah:

Allah telah memproklamirkan perang untuk memberantas riba dan orang-orang yang meribakan harta serta menerangkan betapa bahayanya dalam masyarakat, sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi:

Dalam hal ini Islam bukan membuat cara baru dalam agama-agama samawi lainnya. Dalam agama Yahudi, di Perjanjian Lama terdapat ayat yang berbunyi: "Jikalau kamu memberi pinjam uang kepada ummatku, yaitu baginya sebagai penagih hutang yang keras dan jangan ambil bunga daripadanya." (Keluaran 22:25).

Dalam agama Kristen pun terdapat demikian. Misalnya dalam Injil Lukas dikatakan: "Tetapi hendaklah kamu mengasihi seterumu dan berbuat baik dan memberi pinjam dengan tiada berharap akan menerima balik, maka berpahala besarlah kamu..." (Lukas 6: 35).

Sayang sekali tangan-tangan usil telah sampai pada Perjanjian Lama, sehingga mereka menjadikan kata Saudaramu --yang dalam terjemahan di atas diartikan Hambaku pent.-- dikhususkan buat orang-orang Yahudi, sebagaimana diperjelas dalam fasal Ulangan 23:20 "Maka daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi daripada saudaramu tak boleh kamu mengambil dia ..."

HALAL - HARAM POLITIK UANG

Oleh: H. A. Zahri, S.H, M.HI

(Wakil Ketua PA. Banyuwangi)

Bicara halal dan haram terkait dengan masalah fikih. Dalam kajian fikih ada ungkapan yang terkenal dengan ahkamul khomsah (hukum lima), yakni: wajib, haram, sunah, makruh dan mubah. Halal masuk katagori mubah, yaitu sesuatu yang boleh dilakukan dan dilawankan dengan haram, yaitu sesuatu yang tidak boleh dilakukan.

Dalam melihat sesuatu yang terkait dengan tingkah laku manusia atau perbuatan mukalaf selalu menggunakan pendekatan hukum (fikih), bukan pendekatan moral, kemanusian dll. Hal demikian terjadi karena yang awal kita pelajari di sekolah adalah masalah hukumnya.

Tulisan ini menyajikan dengan singkat perihal politik uang dilihat dari aspek hukum (fikih) dan hukum positif,  khususnya dalam sebuah kontestasi yang memang telah diketahui lazim bermain politik uang.

Putusan organisasi besar, NU melalui bahtsul masail dan Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, demikian pula para kiai dan ustaz secara pribadi, menyamakan politik uang dengan risywah. Karena politik uang dikiaskan dengan risywah sehingga hukumnya menjadi haram. Larangan risywah disebutkan dengan jelas dalam sebuah hadist yaitu,

عن ابْن أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو،قَالَ :لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

“Dari Ibni Abi Dzi’b, dari Al-Harits bin Abdirrahman, dari Abi Salamah, dari Abdillah bin ‘Amr, ia berkata: Rasulullah Saw. melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap”.

Suap/sogok atau risywah yaitu suatu pemberian dalam bentuk hadiah yang diberikan kepada orang lain dengan mengharapkan imbalan tertentu yang bernilai lebih besar. Melaknat maksudnya dari sisi hukum adalah haram. Sementara istilah politik uang ialah menggunakan uang untuk memengaruhi keputusan tertentu, dalam hal ini uang dijadikan alat untuk mempengaruhi seseorang dalam menentukan keputusan.

Dengan adanya politik uang ini, maka putusan yang dihasilkan tidak lagiberdasarkan idealita mengenai baik tidaknya keputusan tersebut, melainkan semata-mata didasarkan oleh kehendak si pemberi uang, karena yang bersangkutan sudah merasa diuntungkan.

Dalam hukum positif Indonesia, politik uang sangat jelas dilarang, bahkan pelakunya dapat dibatalkan pencalonannya dan berujung kepada tindak pidana. UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, mengenai politik uang ini diatur dalam beberapa pasal antara lain: Pasal 84 dikatakan bahwa: “Selama masa tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3), pelaksana, peserta, dan/atau petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan imbalan kepada pemilih untuk: a. tidak menggunakan hak pilihnya; b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah; c. memilih parpol peserta pemilu tertentu; dan/atau d. memilih calon anggota DPD tertentu”.

UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden:

Jadi telah jelas, politik uang dari sisi fikih masuk perbuatan haram dan dari aspek hukum positif dilarang dan masuk tindak pidana, namun persoalannya politik uang itu disukai dan dianggap hal yang lumrah oleh masyarakat/kontituen dan calon dalam praktek pelaksanaan pemilu.

Pendapat berbeda dilontarkan oleh kiai kondang, yang akrab dipanggil Gus Baha (Ahmad Bahauddin Nursalim),  dalam salah satu ceramahnya di youtube, beliau mengemukakan  bahwa tidak serta-merta politik uang itu sama dengan risywah, tergantung konteknya.

Beliau mengutip kitab Fathul Muin bahwa yang dimaksud suap atau risywah itu mengubah yang batil menjadi hak dengan cara menyogok pihak yang punya otoritas. Namun untuk mempertahankan haknya dengan menyogok hakim dalam suatu perkara karena pihak lawan yang tidak punya hak menyogok, sementara hakimnya dlolim, maka perbuatan demikian itu bukan suap.

Secara lebih spesifik beliau mencontohkan bahwa jika  ada dua kandindat bupati, yang satu orang dholim dan yang satu orang sholeh. Orang dholim membeli suara dan jika membeli suara pasti jadi, maka orang shaleh wajib membeli suara di atas orang dholim tersebut agar bisa sukses.

Sogokan orang shaleh ini  disebut membeli kebenaran, bukan suap karena orang sholeh lebih berhak jadi bupati daripada orang dholim. Alasan lebih lanjut bilamana  orang shaleh tidak membeli kebenaran, maka yang jadi bupati adalah  orang dholim  yang akan membawa kerusakan.

Pada tataran implementasi yang berpendapat bahwa politik uang itu bukan suap/risywah harus hati-hati. Karena hukum asal politik uang itu  disamakan dengan risywah dan hukumnya  haram. Dalam kaidah ushul fikih hukum haram menjadi halal apabila dalam keadaan dhorurat dan hukum makruh jadi boleh jika ada hajat.

Ulama ushul merumuskan  kaedah الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات, artinya “Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang.” . Berdasarkan firman Allah Swt:

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ

“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173).

Ulama ushul telah membuat rumusan keadaan dhorurat antara lain:

Politik uang yang berubah menjadi nomenklatur membeli kebenaran, apakah sudah memenuhi empat syarat yang digariskan ulama ushul tersebut.

Bila orang di depan hakim untuk memulihkan hak harus bayar, kemudian siapa yang bayar dimenangkan hakim, maka terjadilah juak beli hukum. Si kaya menang si miskin kalah. Hukum akan  rusak.

Suap tidak bisa dilihat hanya sekedar jual beli kedua belah pihak, tapi memiliki dimensi yg luas. Dimensi budaya, pendidikan dan moral kolektif, Untuk mencapai masyarakat adil makmur tak mungkin jual beli hukum dan hak pilih dihalalkan hanya untuk meraih kemenangan. Kemenangan dalam konsep Islam harus ditempuh dengan akhlak karimah agar berkah.

Beda dengan makruh, yaitu perkara yang ditinggalkan itu lebih baik dan jika ada hajat menjadi boleh. Hajat itu adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan. Ada kaedah yang sangat membantu ketika memahami makruh sebagai berikut; الكَرَاهَةُ تَزُوْلُ بِالحَاجَةِ “Suatu yang makruh menjadi hilang karena ada hajat.”

Dalil dari kaedah tentang makruh di atas di antaranya adalah dalil berikut. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Rasulullah Saw membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Bukhari, no. 568). Namun Rasulullah Saw. pernah begadang bersama Abu Bakar membicarakan urusan kaum muslimin. Hal ini dikatakan oleh Umar bin Al-Khattab, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Tirmidzi, no. 169. Ini menandakan suatu yang makruh dibolehkan ketika ada hajat.

Kita  tahu bahwa politik uang itu dari sisi fikih haram dan dilarang oleh undang-undang, bukan hal makruh yang ketika ada hajat menjadi boleh. Harus hati-hati untuk menerapkan pendapat Gus Baha yang satu ini, jangan ditelan mentah dan menjadi alasan politik uang bukan suap, tapi membeli kebenaran. Karena merasa diri orang sholeh lalu menggampangkan politik uang. Walahu ‘alam bi shawab.

Paylater atau belanja sekarang bayar kemudian menjadi tren pembayaran yang tengah berkembang di masyarakat belakangan ini.

Apalagi, saat ini banyak perusahaan maupun e-commerce yang memberikan pilihan tersebut kepada konsumennya. Tidak hanya platform belanja online seperti Shopee dan Tokopedia serta aplikasi pembelian tiket, Traveloka dan Tiket.com, saat ini perbankan digital juga memberikan kemudahan dengan pilihan pembayaran paylater.

Namun, apakah paylater halal dan bisa digunakan oleh semua orang, apalagi bagi umat Muslim yang hanya mau menggunakan produk sesuai dengan syariat Islam?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perencana Keuangan Andi Nugroho mengatakan halal dan haramnya paylater ditentukan oleh skema atau sistem yang digunakan oleh perusahaan dalam menjalankan kebijakan tersebut.

Menurut Andi, jika pemberi pinjaman atau pembuat paylater memberikan pinjaman tanpa dikenakan bunga saat nasabah membayar, maka bisa dikatakan halal. Sebab, bunga ataupun riba tidak diperbolehkan dalam sistem syariah.

Menurutnya, dalam skema syariah yang digunakan adalah istilah bagi hasil. Artinya, jumlah pinjaman dan pembayaran yang nanti dikembalikan sudah ditetapkan sejak awal.

"Jadi misalnya pinjamannya Rp1 juta gitu ya, kemudian dihitung dan nanti dilunasi jadinya Rp1,5 juta dan ini yang kemudian dicicil tiap bulannya. Yang pasti tidak mengandung unsur bunga ketika pengembaliannya, itu akan menjadi halal," ujar Andy kepada CNNIndonesia.com.

Namun, jika dalam pembayaran atau pencicilannya dikenakan bunga, maka itu akan menjadi haram. Sehingga, halal atau haramnya memang kembali lagi pada sistem yang digunakan oleh pemberi pinjaman.

"Jadi tergantung dari skema ataupun perjanjian di awal ini nanti pengembaliannya seperti apa. Apakah ada mengandung unsur bunga atau tidak," jelasnya.

Andi mengatakan jika umat Muslim ingin lebih tenang dalam menggunakan paylater, maka bisa mencari perusahaan yang sudah berlabel syariah. Sebab, dengan label tersebut, tak perlu lagi ada ketakutan atau keraguan bahwa pinjaman tersebut haram.

"Sebaiknya pinjam paylaternya dari perusahaan fintech yang memang sudah berlabel syariah, karena berarti perusahaan tersebut sudah diawasi oleh DSN MUI melalui dewan pengawas syariah yang dimiliki," imbuhnya.

Jika tak mau memakai fasilitas itu, Andi mengatakan ada alternatif lain yang bisa dilakukan umat Muslim untuk mendapat pinjaman mendatangi perusahaan berlabel syariah yang sama mudahnya digunakan seperti paylater.

"Selain paylater juga bisa dengan pinjaman dari fintech ataupun pegadaian yang memang sudah berlabel syariah. Karena sebenarnya mau apapun produk keuangannya, bila sudah ada label syariahnya, maka kita lebih tenang karena lebih terjamin kehalalannya," jelasnya.

Sementara, Perencana Keuangan dari Tatadana Consulting Tejasari Assad mengatakan paylater sama jenisnya dengan kartu kredit yang termasuk dalam utang konsumtif  dan memiliki sisi positif dan negatif.

Menguntungkan atau sangat membantu jika menggunakan paylater hanya saat keadaan darurat, misalnya membeli tiket pesawat untuk mengunjungi orang tua sakit di saat tidak pegang uang. Namun, merugikan jika digunakan untuk belanja tak penting atau liburan.

"Menurut saya, akan lebih baik kalau kita berbelanja apabila kita punya uangnya saja, jangan ngutang. Walaupun barangnya didiskon, tapi kalau kena biaya denda, bunga dan lain-lain harganya jadi bertambah," pungkasnya.

Pendirian Gereja Tentang Masalah Dagang

Begitulah masyarakat Islam dalam menghadapi dunianya dalam naungan agamanya, mereka berdagang, juga membeli. Tetapi perdagangan dan jual-belinya itu tidak sampai melupakan berzikrullah. Dimana waktu itu orang-orang di abad-abad pertengahan kebanyakannya di bawah kekuasaan raja-raja dan negara-negara Eropah Kristen masih bimbang dalam menghadapi pertentangan yang hebat antara fikiran-fikiran apa yang disebut penyelamatan yakni menyelamatkan diri dari dosa yang menyelubunginya. Fikiran ini bertentangan dengan fikiran Aklirus yang menganjurkan berusaha dan berdagang di satu pihak, dan di pihak lain adanya perkataan yang berkumandang, bahwa celakalah manusia yang berani menantang ajaran pemimpin-pemimpin agama (rijaluddin) dan sibuk dengan urusan pencaharian, perusahaan dan perdagangan. Dikatakannya juga, bahwa dosa bukan hanya suatu kejelekan yang pelakunya akan dibalas sesuai dengan banyaknya dosa yang dilakukan, tetapi dosa, seperti yang biasa dikatakan, yaitu dosa abadi dan laknat di bumi dan langit dalam kehidupan di dunia dan akhirat nanti,

Untuk itu seorang Uskup bernama Agustine mengatakan: "Kesungguhan dalam urusan perdagangan pada hakikatnya suatu dosa, karena dapat memalingkan orang dari ingat kepada Allah,"

Yang lain pun berkata: "Seseorang yang membeli sesuatu kemudian pulang dan menjualnya lagi dengan tidak ada imbangan yang harus dia lakukannya, maka orang tersebut akan termasuk golongan pedagang yang menjauhkan sorga dan kesuciannya."

Pendapat-pendapat ini tidak lebih hanya latah terhadap ajaran-ajaran Paulus yang mengatakan: Bahwa seorang penganut Masehi tidak layak menentang kawannya yang lain dengan suatu pertentangan yang mematikan. Untuk itu, maka tidak ada perdagangan yang berkembang di kalangan orang-orang Masehi."36